SIGALE GALE
Sigale Gale adalah sebuah patung kayu yang digunakan dalam pertunjukan tari saat
ritual penguburan mayat suku Batak di Pulau Samosir, Sumatera
Utara. Sigale Gale berasal dari kata “gale”
artinya lemah, lesu, lunglai.
Sigale Gale cukup terkenal di kalangan para turis. Selama menari-nari,
patung ini dikendalikan oleh seorang pemain dari belakang mirip boneka marionettemenggunakan tali
tersembunyi yang menghubungkan bagian-bagian patung melalui podium kayu berukir
tempatnya berdiri. Hal ini memungkinkan bagian lengan, kepala dan tubuhnya digerakkan.
Konon, jumlah tali yang menggerakkan Sigale gale sama dengan
jumlah urat yang ada di tangan manusia.
Daerah asal mula munculnya Sigale gale ialah
daerah Toba-Holbung (Tapanuli
Utara), kemudian menyebar ke Pulau Samosir (di tengah-tengah Danau Toba).
Di pulau Samosir penduduk menyebutnya dengan
sebutan Raja Manggale. Sigale gale dipergunakan pada
upacara-upacara kematian. Upacara untuk orang-orang yang meninggal tanpa
mempunyai anak maupun yang meninggal tanpa meninggalkan keturunan karena semua
anaknya telah tiada.
Upacara ini diadakan terutama apabila orang yang
meninggal itu mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat,[5] seperti
raja-raja, dan para tokoh masyarakat. Hal itu dilakukan dengan maksud
menyambung keturunan mereka kelak di alam baka. Pada masyarakat Batak Toba,
apabila seseorang yang mempunyai kedudukan meninggal dunia dan ia tidak
mempunyai keturunan maka dipandang rendah dan tidak membawa kebaikan. Oleh
karena itu, kekayaan yang ditinggalkannya akan dihabiskan untuk mengadakan
upacara Sigale gale untuk orang yang meninggal tersebut. Orang
lain tidak akan berani mengambil harta benda milik orang tersebut, karena takut
tertular atau meninggal seperti pemiliknya.
Pada masa sekarang, yakni setelah agama Kristen semakin
mendalam dan meresap dalam kehidupan masyarakat Batak di Tapanuli utara,
upacara-upacara Sigale gale mulai ditinggalkan. Menurut
pandangan mereka, upacara ini dianggap sebagai upacara keagamaan parbegu,
suatu upacara yang didasarkan pada kepercayaan terhadap begu (roh
dari orang yang sudah meninggal).
Suku Batak Toba memuliakan roh nenek moyang dan
keturunan orang yang meninggal melakukan upacara pemakaman. Jika seseorang
meninggal tanpa keturunan, si gale-gale kemudian dibuat sebagai penggantinya.
Sigale gale yang kompleks dapat seukuran manusia dan memperlihatkan aktuasi
memakai lumut basah atau spons yang bisa diperas untuk membuatnya tampak
seperti menangis.
Patung kayu Sigale gale memiliki
anggota badan bersendi yang dipasang di atas podium beroda, sambil meratap,
mereka menari-nari selama upacara pemakaman yang disebut papurpur
sepata. Upacara tersebut dilakukan dalam rangka mengusir petaka meninggal
tanpa memiliki keturunan, dan untuk menenangkan roh mendiang agar arwahnya
tidak penasaran.
Cerita sigalegale
Seorang lelaki, Datu Panggana, adalah seorang ahli patung yang sangat
terkenal di sebuah huta (desa). Begitu terkenal sampai makam
raja pun dibuatnya. Suatu hari Datu Panggana ingin membuat patung sebagai
pajangan di rumahnya, lalu ia pergi ke hutan. Di hutan, Datu Panggana melihat
sebatang pohon kayu kering yang sangat mencolok di antara pepohonan lain. Pohon
itu tingginya menyamai ukuran manusia, tidak berdaun dan tidak beranting.
Kemudian Datu Panggana memahat menjadi patung seorang perempuan.
Selang berapa waktu, Datu Panggana didatangi oleh
Bao Partigatiga, seorang pedagang keliling yang menjual barang berupa pakaian
dan perhiasan emas. Bao Partigatiga mencoba mengenakan pakaian dan perhiasan
pada patung itu. Patung tampak sangat cantik dan seakan-akan hidup. Ketika hari
sudah senja, Bao Partigatiga hendak mengambil kembali pakaian yang dikenakan
pada patung tersebut. Alangkah terkejutnya, pakaian yang dikenakan, tidak bisa
dilepas lagi, Bao Partigatiga kecewa, lalu melanjutkan perjalanannya.
Keesokan harinya, seorang dukun penawari, yang
mempunyai keahlian mengobati, memanggil roh, serta mempunyai obat ajaib, yang
bernama Datu Partaoar, pergi ke luar rumah seperti biasanya hendak mengobati
pasien ke huta seberang. Untuk menuju huta tersebut,
Datu Partoar terbiasa melewati jalan pintas. Di perjalanan, Datu Partoar
melihat patung wanita tersebut dan terkagum-kagum. Dalam hati Datu Partoar
berkeinginan mencoba untuk membuat patung itu hidup, dengan beberapa tetes dan
mantera-mantera andalannya. Berkat keahlian Datu Partoar, patung wanita
tersebut mulai bergerak bagaikan gerakan manusia. Kemudian Datu Partoar membawa
pulang ke desanya. Istrinya menyambut dengan gembira. Akhirnya, Datu Partoar
beserta istrinya mengangkat sebagai anak dan diberi nama Nai Manggale.
Upacara pengangkatan anak dilaksanakan oleh
keluarga Datu Partaoar dengan cara membawa Nai Manggale ke pekan. Di pekan Nai
menari dengan lemah gemulai, sehingga orang-orang yang menyaksikannya turut
pula menggerak-gerakkan badan mereka seirama dengan lenggak-lenggok Nai
Manggale.
Kabar tentang Nai Manggale itu sampai pula kepada
pemahat patung Datu Panggana dan Bao Partigatiga yang juga merasa punya andil
pada patung tersebut. Datu Panggana dan Bao Partigatiga menyambangi ke rumah
Datu Partoar. Terjadilah pertengkaran di antara mereka bertiga, memperebutkan
diri Nai Manggale. Datu Panggana yang semula membuat patung perempuan itu
merasa lebih berhak atas Nai Manggale. Bao Partigatiga yang mempercantik patung
dengan memberi pakaian dan perhiasan juga merasa lebih berhak atas Nai
Manggale, begitu juga dengan Datu Partoar, tanpanya dirinya patung itu takkan
bisa hidup. Terjadilah pertengkaran hebat yang tidak bisa mereka selesaikan.
Konflik di antara mereka bertiga akhirnya sampai
ke hadapan raja, namun raja juga tidak dapat menyelesaikannya. Raja menyarankan
untuk menyelesaikan persoalan itu kepada Si Aji Bahir-bahir. Si Aji Bahir-bahir
adalah seorang tokoh yang dituakan di huta tersebut dan dapat
menyelesaikan permasalahan di antara mereka bertiga. Adapun keputusan yang
disetujui oleh masing-masing pihak, ialah bahwa dukun Datu Partoar (dukun
penawari) dianggap sebagai bapak dan berhak memberi berkat dalam perkawinan Nai
Manggale. Bao Partigatiga (pedagang) sebagai abang (mariboto), berhak
menerima bagian emas kawin (wang mahar). Pemahat patung Datu Panggana
diangkat menjadi paman (tulang) dan akan memperoleh bagian pula sebagai
paman.
Datu Partiktik yang tinggal di huta sebelah
telah mendengar akan kecantikan Nai Manggale. Datu Partiktik pun datang
meminang Nai Manggale. Akan tetapi, Nai Manggale menolak pinangan tersebut.
Datu Partiktik tidak kehabisan akal, Datu Partiktik pun menggunakan ilmu
sihirnya untuk menaklukkan hati Nai Manggale. Berkat ilmu sihir tersebut
akhirnya Nai Manggale bersedia kawin dengan Datu partiktik.
Setelah sekian lama mengarungi bahtera rumah
tangga, namun tidak juga ada tanda-tanda untuk mempunyai anak. Penantian yang
panjang membuat Nai Manggale akhirnya jatuh sakit lalu meninggal. Sewaktu Nai
Manggale masih sakit dia berpesan kepada suaminya, bahwa ia harus meminta
kepada Datu Panggana untuk membuatkan patung sebesar dirinya dan diberi
nama Sigalegale. Kalau amanah itu tidak dilaksanakan, maka roh Nai
Manggale tidak akan diperkenankan tinggal di alam baka. Ia tak akan sentosa,
akibatnya Nai Manggale terpaksa mengutuk Datu Partiktik agar tidak memperoleh
putra dan putri apabila kelak dia kembali kawin. Datu Partiktik pun segera
melakukan apa yang telah dipesankan oleh istrinya. Dengan alasan itulah
patung Sigale gale dibuat untuk seseorang yang meninggal tanpa
mempunyai anak, agar begu atau arwahnya tidak terkena siksa.
Versi cerita lain yang dikenal
Kisah lain adalah cerita tentang seorang raja dan putra
kesayangannya. Sigale gale merupakan boneka kayu yang dibuat
untuk membahagiakan Raja Rahat, raja dari salah satu kerajaan di Pulau Samosir.
Konon Raja Rahat memimpin negerinya dengan bijaksana. Sayangnya,
istri Raja sudah lama meninggal dunia. Raja hanya punya seorang anak lelaki,
bernama Manggale. Manggale sangat dihormati dan disegani seluruh rakyat di
negeri itu karena ketangkasannya berperang. Ia menjunjung tinggi kebenaran.
Sama seperti sang Raja, ayahnya, Manggale pun sangat mencintai rakyatnya.
Ketenteraman di negeri itu terusik ketika suatu hari prajurit membawa
berita bahwa di hutan perbatasan berkumpul prajurit negeri tetangga. Prajurit
negeri tetangga hendak menyerang, menjarah harta kekayaan yang ada di negeri
itu. Tentu saja Raja tidak tinggal diam mendengar kabar itu. Raja mengumpulkan
semua penasihat, juga Manggale selaku panglima perang. Setelah semua
dipersiapkan, maka berangkatlah Manggale bersama prajurit terbaiknya.
Selama Manggale dan prajurit pergi berperang, hati Raja tidak
tenang. Ia takut sesuatu yang buruk menimpa anak kesayangannya. Sampai
kemudian, sebagian prajurit pulang. Tidak ada Manggale di antara mereka.
Manggale tewas di medan pertempuran. Raja sangat sedih. Anak kebanggaannya,
pewaris kerajaan, telah meninggal dunia. Seluruh rakyat juga sedih dan merasa
kehilangan.
Akhirnya, Raja jatuh sakit. Para penasihat Raja sudah memanggil
banyak datu, tetapi tidak ada yang mampu menyembuhkan Raja.
Seorang datu memberi saran pada penasihat kerajaan untuk
membuat patung kayu yang wajahnya sangat mirip dengan wajah Manggale. Penasihat
kerajaan mengikuti saran itu. Dipanggilah pemahat terbaik di kerajaan untuk
mengerjakan patung itu. Pembuatan patung dilakukan jauh di dalam hutan, karena
Manggale tewas di dalam hutan. Jadi, datu meyakini roh
Manggale masih berada di dalam hutan itu. Sang pemahat menggunakan kayu pohon
nangka sebagai bahan karena kayu nangka sangat keras.
Wajah patung itu sangat mirip dengan wajah Manggale. Kemudian,
datu menggelar ritual dengan meniup sordam dan memainkan gondang
sabangunan untuk memanggil roh Manggale. Roh Manggale dimasukkan ke
dalam patung yang mirip wajahnya itu. Patung itu diangkut menuju istana dengan
iringan sordam dan gondang.
Karena patung itu sangat mirip dengan putra kesayangannya yang
telah meninggal. Kerinduan sang raja pada Manggale sedikit demi sedikit
terobati. Apalagi patung itu bisa menari sendiri karena datu sudah
memasukkan roh Manggale ke dalamnya. setiap Raja rindu dengan putranya, ia
akan manortor (melakukan tor-tor/menari) bersama
patung itu. Seluruh rakyat ikut manortor setiap Raja
melakukannya. Kemudian, Raja memberi patung ini nama sigale-gale.
Yang artinya, si Lemah-lembut, atau si lemah lunglai.
Pemahat yang berhasil membuat patung yang mirip wajah Manggale,
meninggal dunia tidak lama setelah ia menyelesaikan patung itu. Sampai
sekarang, ada kepercayaan di masyarakat Batak bahwa pembuat patung sigale-gale harus
menyerahkan jiwanya pada patung buatannya supaya patung bisa bergerak seperti
hidup. Itulah
sebabnya, tidak banyak yang bersedia membuat patung sigale-gale.
Kalaupun ada, sebuah patung akan dikerjakan beberapa orang. Ada yang memahat
bagian kepala, bagian badan atau bagian kaki.
(Sumber: Wikipedia Indonesia)











